Selasa, 16 Agustus 2016

KRISIS ADAB DALAM PENDIDIKAN ISLAM


KRISIS ADAB DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Nurul Absor


Bangsa Timur (Asia) dahulu terkenal memiliki peradaban yang sangat tinggi dan memilki kekuasaan yang meneguhkan sendi-sendinya. Kemudian, jaman berubah dan terjadilah sesuatu yang menimpa Bangsa Timur itu, sehingga hancur lebur kemakmuran yang dicapainya dan koyaklah kemajuannya. Demikianlah Sunnatullah yang ditetapkan kepada orang yang tidak mengamalkan norma-norma sosial dan kemasyrakatan dan tidak lagi berjalan di atas rel peradaban yang benar.
Dewasa ini, menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, krisis yang dihadapi dunia pendidikan pada umumnya adalah krisis adab (At-Takhalli ‘anil ‘adab, loss of adab), bukan krisis tarbiyah atau ta’lim (pendidikan dan pengajaran). Sebab, kenyataannya pendidikan dan pengajaran telah berlangsung dimana-mana dan tersebar luas yang hampir merata. Krisis di dunia pendidikan juga bukan krisis buta huruf, sebab orang yang bisa membaca lebih banyak dari pada yang tidak bisa membaca. Namun ketika pendidikan yang berlangsung sekian lama dan hampir merata, ternyata tidak memberikan kemanfaatan yang seharusnya bagi kemajuan bangsa, jelas ada yang salah dalam proses pendidikan itu. Masalah tersebut adalah masalah krisis adab. Sehingga untuk mengatasi problem ini diperlukan ta’dib (Peng-adab-an) di samping tarbiyah dan ta’lim.
Adab, menurut Al-Attas, merupakan representasi dari hikmah ilahiyah, yang dimiliki oleh para Nabi dan orang sholeh. Adab adalah melakukan sesuatu berdasarkan ilmu yang proporsional (adil) sesuai dengan ketetapan Allah Swt.  Adab ini tidak bisa diperoleh dari universitas, bahkan adab tidak bisa muncul dengan sendirinya dari pengetahuan. Sebab, kadang orang memiliki pengetahuan namun tidak memiliki adab.
Dengan minus-nya nilai-nilai adab Islam di dunia pendidikan, maka tidak heran jika muncul para ilmuan yang tidak beradab. Para ahli ilmu alam justru merusak alam. Para ahli ekonomi malah menyebebkan krisis ekonomi atau berbuat korupsi. Ahli kimia yang kerjanya membuat senjata nuklir dan pemusnah massal, yang tentunya tidak memberikan manfaat apapun bagi umat, namun malah sebaliknya.
Hal demikian terjadi karena ilmu-ilmu yang di pelajari adalah ilmu yang terpisah dari nilai-nilai luhur agama, ilmu-ilmu sekuler, sehingga di dalam ilmu itu tidak terkandung muatan adab Islami. Akhirnya pengaplikasiannya tergantung pada siapa yang mempelajarinya, dan terserah apa yang mereka kehendaki.

Perusakan Terencana
Dengan maraknya pendidikan yang dibangun atas nama (embel-embel) Islam, namun telah lepas dari framenya. Lembaga yang dibentuk hanya untuk ‘kemakmuran’ dunia secara materi atau malah kepentingan duniawi saja, alias lembaga yang dibangun atas dasar pragmatisme. Lembaga pendidkan yang di bangun dengan konsep timpang dan tidak seimbang, hanya mementingkan aspek duniawi dan mengabaikan ukhrawi, adalah tidak sesuai dengan konsep dasar Islam. Menggunakan pandangan yang timpang akan menyebabkan ketimpangan ilmu yang dihasilkan, yang pada gilirannya akan menyebabkan wabah kerusakan ilmu, kerusakan prinsip dan orientasi hidup, yang menjerumuskan pada kehancuran peradaban. Inilah yang terjadi dewasa ini pada kebanyakan lembaga pendidikan.
Secara empiris, kerusakan ilmu secara merata telah terjadi pada mayoritas perguruan tinggi di Indonesia. Kekeliruan konsep ilmu di dunia pendidikan tinggi telah melahirkan kondisi memprihatinkan. Di perguruan tinggi telah terjadi kebodohan (igronance) terhadap ilmu-ilmu agama. Berbagai perguruan tinggi telah melahirkan sarjana-sarjana agama yang keliru ilmunya. Lebih parah lagi, saat pragmatisme dan relativisme telah merasuki bidang studi Islam, sehingga banyak melahirkan sarjana-sarjana agama yang jusrtu ragu dengan agamanya sendiri.
Jika kita telusuri lebih jauh lagi, ternyata konsep ilmu di berbagai perguruan tinggi Islam yang telah porak-poranda itu merupakan bentuk dari keberhasilan musuh-musuh Islam, yang telah sekian lama mencoba untuk merusaknya. Ada grand design yang mereka persiapkan untuk meruntuhkan peradaban Islam yang agung. Mereka mulai dari perancuan terhadap pandangan hidup, keyakinan dan konsep-konsep kunci dalam Islam, termasuk perusakan terhadap ilmu-ilmu Islam.
Mereka, Bangsa Barat menggunakan berbagai macam kendaraan: Werternisasai dan Globalisasi digunakan sebagai kendaraan untuk menyebarkan budaya, paham-paham dan ideologi barat. Orientalisme dimanfaatkan untuk membaca pemikiran Islam dari kaca mata barat, sehingga melahirkan Islam yang berbeda dari dari pemahaman umat Islam sendiri. Misionarisme dipakai untuk memperluas penerimaan kultur dan kepercayaan barat. Terakhir, kolonialisme yang merupakan kekuatan strategis untuk penaklukan dunia Islam yang memanfaatkan orientalisme dan misionarisme untuk tujuan-tujuan politik ekonomi.
Selanjutnya, media paling efektif bagi penyebaran teori, konsep dan ideologi yang digencarkan oleh bangsa barat adalah bangku-bangku kuliah di perguruan tinggi, melalui mulut-mulut para intelektual, saintis, budayawan dan lain sebagainya. Melalui berbagai sarana inilah, maka secara teknis, paham, ide, konsep, sistem dan teori-teori pemikiran barat di sebarkan ke dunia Islam.
Kini, dunia pendidikan Islam yang tidak mampu membendung arus perusakan terencana itu telah benar-benar porak-poranda. UIN, STAIN, IAIN telah bergeser perannya dari sebagai pusat pengembangan kajian ke-Islam-an menjadi pusat liberalisasi dan perusakan nilai-nilai yang justru sangat prinsip dalam Islam. Para mahasiswa yang menimba ilmu di dalamnya justru menjadi perusak Islam yang gigih.
Dari IAIN Surabaya, pernah terjadi kasus  yang sangat menghebohkan. Ketika seorang Dosen bernama Sulhawi Ruba, 51 tahun, pada 5 Mei 2006, secara sengaja menginjak-injak lafal “Allah” yang ditulisnya sendiri dari secarik kertas. Ia menerangkan bahwa posisi Al-Qur’an hanya sebagai hasil budaya manusia. Dari IAIN Bandung, pernah muncul kasus sejumlah mahasiswa yang membuat teriakan yang menghebohkan, “Selamat datang di area bebas tuhan”, “Mari berzdikir dengan lafal “Anjinglu Akbar’”. Ketika sejumlah dosen dan para ulama memprotes hal itu, pimpinan kampus justru membela aksi tersebut.
Lebih dari itu, sudah lumrah terdengar bahwa penolakan terhadap Perda Syari’ah justru banyak datang dari berbagai perguruan tinggi Islam, termasuk wilayah yang tradisi dan budaya islamnya sangat kental, seperti di Madura. Pada tanggal 21-22 Mei 2009, misalnya, secara-berturut-turut para Fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) perguruan tinggi di Madura menggelar kongres yang menolak pemberlakuan perda syari’ah Islam di Madura. Kongres di selenggarakan di STAIN Pamekasan, kemudian mereka menggelar orasi ilmiah di monumen Arek Lancor. Meski untung kemudian kongres tersebut mendapat protes dan perlawanan dari sejumkah aktivis perguruan tinggi lain di Madura.
Dengan demikian sudah dapat disimpulkan, bahwa kerusakan ilmu-ilmu, pemikiran dan pemahaman Islam di berbagai perguruan tinggi Islam telah benar-benar marata. Agaknya, pemikiran seperti inilah yang diagendakan dan dijalankan secara intern oleh musuh-musuh Islam yang rupanya saat ini telah tercapai, sebagaimana pernyataan ketua misionaris Jerussalam, Samuel Zwemmer, “Misi utama kita sebagai orang Kristen bukan menghancurkan kaum muslimin, namun mengeluarkan orang muslim dari Islam agar mereka menjadi orang muslim tak ber-akhlak”
Hal ini kiranya telah tampak menyajikan satu arus pandangan bahwa, umat Islam harus menjalani kehidupan dengan mengikuti rel dan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta kehidupan. Umat Islam dituntut untuk menemukan jawaban pasti terhadap kesimpang-siuran pendidikan Islam, kerancuan dan kerusakan ilmu yang telah terjadi.
Mereka, umat Islam mesti memahami rel dan rambu-rambu kehidupan yang lurus dan benar, yang sejalan dengan target-target sebenarnya, yakni mendapatkan kebaikan fiddunya wal akhirat. Mereka harus memahami Islam secara utuh. Pendidikan Islam harus dipelajari secara sungguh-sungguh dengan perencanaan yang matang. Sebab, jika tidak demikian, maka yang akan dihasilkan bisa jadi adalah pemahaman parsial yang timpang dan tidak mempresentasikan Islam secara kaffah.
Pendidikan Islam harus sebangun dengan ajaran-ajaran prinsip dalam Islam, dan selaras dengan ilmu-ilmu ke-islam-an yang diajarkan untuk memahami hakikat Islam itu sendiri. Maka umat Islam dituntut untuk terus melakukan kajian dan pengembangan secara kontinyu, dengan berpijak pada prinsip-prinsip yang baku. Seberapapun jauhnya melangkah, sesuai dengan ajaran Islam yang kokoh, mereka tetap tidak akan lepas dari frame dan meanstreamnya.
Di samping dapat membangun dan mengembangkan peradaban Islam sesuai dengan agama wahyu yang paling otentik, yakni agama Islam, dengan demikian umat Islam juga akan mampu membendung dan bahkan memberangus berbagai pandangan dan pemikiran, konsep-konsep dan nilai-nilai yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
Oleh karenanya, bangun dari kegelapan dan keterpurukan adalah keniscayaan. Jangan biarkan Islam menjadi agama yang tertindas oleh orang-orang barat. Buka kedok kaum munafik yang mengaku beragama Islam namun mengajarkan Islam di luar konsep yang telah ditetapkan oleh Sang Pembuat Undang-Undang Hukum Islam. Bentuklah pendidikan yang bermoral, berakhlakul karimah, dengan memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, berfikir maju, bertindak bijak dan berhati mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar