SE PENTING NULES
“Suatu Upaya Menjadi Santri yang Tertulis”
Menulis tidak lantas menjadikan kita meninggalkan kitab-kitab salaf yang sudah tertulis. Justru dengan menulis kita akan mengenalkan kitab-kitab itu kepada mereka yang memang ‘tertakdir’ tidak mempunyai waktu untuk mendalami dan mengkaji dari apa yang di dalam tertulis. Karena pada kenyataannya, kitab-kitab kuning dengan gramatika arab yang luar biasa kompleksnya, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mampu hanya sekedar bisa membacanya, apalagi memahami isi yang tertuang di dalamnya.
Bagi kalangan santri, hal semacam ini adalah wajar dan memang kewajibannya. Karena santrilah yang harus mampu membaca, mengkaji dan memdalami kitab-kitab kuning sebagai sumber paling otentik dalam memahami Islam dan ajarannya. Masalahnya, mereka yang tidak pernah nyantri, untuk mempelajari ajaran Islam akan mencari sumber instan yang dengan mudah mereka pahami tanpa harus berlama-lama, bertatih belajar membaca, lalu mengkaji isi dan apalagi mendalaminya.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Abdulloh Al-Haddad, “Sudah seharusnya Ulama’ mencermati orang yang datang kepadanya untuk menuntut ilmu. Jika dia memiliki banyak waktu dan mampu mendalami ilmu agama, maka suruhlah dia membaca kitab-kitab Ulama. Tapi jika yang datang adalah orang awam yang ingin mempelajari ilmu yang wajib baginya, maka sampaikanlah ilmu-ilmu wajib itu secara ringkas sampai Ia faham. Jangan diperpanjang dengan membacakan kitab-kitab yang mungkin sulit dia faham dan tidak terlalu dia butuhkan. Sebab, ilmu agama yang dibutuhkan oleh orang awam sebetulnya tidak banyak”.
Sebagai santri, menulis tidak harus bersumber dari buku-buku ilmiah karangan Doktor professor. Tidak salah memang, tapi merujuk pada kitab-kitab salaf yang biasa dipelajari di bangku madrasah, adalah jauh lebih baik sebagai pengejawantahan dari apa yang setiap hari dipelajari. Selain sebagai “muthola’ah” diri, juga hasil dari tulisan itu bisa dipublikasikan kepada mereka yang tidak pernah belajar kitab-kitab ini. Dengan ini, kita sudah menyampaikan ilmu-ilmu agama kepada mereka yang tidak pernah nyantri.
Namun apabila santri juga mengambil hal instan dalam mempelajari agama, dengan merujuk pada terjemahan dan rangkuman yang sudah ada, tanpa mau belajar membaca kitab-kitab kuning dan mengkajinya, lantas apa bedanya yang santri dengan mereka diluarnya? Disinilah tantangannya, santri harus mampu membaca, mengkaji dan mendalami kitab-kitab salaf dan menyampaikan kepada mereka yang memang tidak bisa dan tidak ada waktu mempelajarinya.
Hemat penulis, menulis sama sekali tidaklah sulit. Rujukan terbaik adalah kitab yang sudah dipelajari setiap hari. Diterjemah dan diolah agar mudah dipahami. Tidak usah memaksa dengan bahasa popular yang hebat, karena yang terpenting dalam tulisan adalah mudah difahami dan dimengerti oleh pembaca dengan ilmu dan manfaat yang akan diperoleh darinya. Namun untuk bisa menulis, harus ada ilmu yang akan dituangkan dalam bentuk tulisan ini. Disinilah santri dituntut untuk memperkaya keilmuannya dengan sering membaca. Terutama membaca kitab-kitab kuning untuk direalisasikan dalam bentuk tulisan yang mudah dibaca.
Menulislah, maka akan tertulis. Namun sebelumnya, membacalah, maka akan ada hal yang akan kita tulis. Begitulah Ulama-Ulama terdahulu, dengan seabrek karya monumental yang meski tidak pernah dirilis dalam media, namun terkenang dengan manfaat yang tiada banding oleh penulis-penulis masa kini dan selamanya. Dengan tulus ikhlas dan kepasrahan pada Sang Kuasa. Semoga Alloh SWT. Memberkati dan meridhoi segala apa kita kerja.